Mengoptimalkan Peran Pendidikan Agama
Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan kecerdasan”.
Spiritual keagamaan, sebagai dasar keyakinan, dalam rumusan di atas mendapat penekanan khusus. Ini berarti, agama bukan hanya diajarkan (disampaikan dalam bentuk rumusan-rumusan konsep atau teori) namun harus dididikkan. Artinya, dirumuskan dalam konsep, kemudian diterapkan dalam perbuatan nyata dan pada akhirnya terakumulasi menjadi sebuah kepribadian yang utuh, yang menyatukan antara konsep dan perilaku sehari-hari.
Penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, korupsi dan maraknya tindak kriminalitas adalah bentuk nyata dari tidak menyatunya nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Media cetak maupun elektronik, lingkungan pergaulan, perhatian orang tua, dan kepedulian masyarakat, merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam proses pembentukan kepribadian, bahkan merupakan kontributor yang paling besar dalam membentuk pribadi dan karakter seorang manusia.
Pembelajaran agama di sekolah sebagai pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan nasional juga turut memberikan kontribusi dalam pembentukan moral dan kepribadian masyarakat. Sayangnya masih banyak persoalan dalam pelaksanaannya.
Inilah yang menjadi tantangan bangsa ini untuk lebih mengoptimalkan fungsi pendidikan agama di lembaga pendidikan formal agar lebih mampu menjadi benteng moral dan kepribadian dari berbagai pengaruh negatif perkembangan teknologi informasi dan modernisasi lainnya.
Beberapa persoalan pendidikan agama di lapangan adalah, pertama, alokasi waktu yang hanya dua jam pelajaran dalam seminggu (untuk sekolah-sekolah nonkeagamaan), masih dianggap kurang memadai bila dibandingkan dengan bobot materi yang harus disampaikan. Misalnya, al–Qur’an dan hadits, ibadah (syariah), sejarah (tarikh), dan akhlak disatukan dengan hanya dibedakan limit waktu untuk setiap pokok bahasan.
Dengan sistem manajemen berbasis sekolah (MBS) masalah ini dapat disiasati dengan cara menambah jam pelajaran setelah ada kesepakatan dari para pengelola pendidikan di sekolah, kalau perlu dukungan dari orang tua siswa.
Misalnya, dengan mengisi jatah/alokasi jam pelajaran muatan lokal (mulok) atau dapat juga dengan membuka kegiatan ekstra kurikuler keagamaan, seperti bimbingan baca tulis Alquran (BTQ) atau kelompok pengajian siswa.
Kedua, pendidikan agama telah mengalami penyempitan makna menjadi pembelajaran agama. Hal ini dapat dilihat dari cakupan materi dan bentuk evaluasi yang diberikan. Pendidikan agama, menurut pakar pendidikan Islam, Ahmad Tafsir, merupakan upaya untuk menanamkan nilai-nilai agama sehingga terbentuk pribadi yang qura’ni.
Kenyataan di lapangan, pendidikan agama disampaikan tidak berbeda seperti metode yang digunakan pada pelajaran lain, di mana peserta didik dibawa untuk memahami konsep-konsep dasar ajaran agama dan tidak sampai pada penghayatan nilai atau pengaktualisasian dalam kehidupan nyata.
Menurut Zakiyah Darajat, essensi pendidikan agama adalah penanaman nilai. Optimalisasi dapat dilakukan dengan membuka kerja sama antara guru agama dengan guru mata pelajaran lain atau guru agama dengan orang tua. Pemberian tugas berupa laporan kegiatan keagamaan sehari-hari atau laporan perkembangan perilaku siswa di sekolah, merupakan salah satu bentuk kerja sama dengan orang tua.
Memasukkan nilai moral religius dalam pelajaran di luar pendidikan agama atau memadukan materi nonkeagamaan pada pelajaran agama, merupakan bentuk kerja sama dengan guru mata pelajaran.
Ketiga, pengembangan nilai-nilai tidak hanya dapat dilakukan dengan pendekatan rasional, melalui ceramah-ceramah atau pemberian sangsi dan imbalan, tetapi lebih tepat bila dilakukan pelembagaan (internalisasi) terhadap nilai-nilai tersebut. Guru dan seluruh sivitas akademika yang ada di sekolah diupayakan untuk dapat melakukan secara rutin dan membiasakan kegiatan yang dianggap dapat membantu dalam mengembangkan sistem nilai agama.
Ini dapat dilakukan dengan cara membiasakan kegiatan yang bersifat ibadah, seperti pembacaan al–Qur’an selama 10 menit setiap hari pada jam pertama, penyelenggaraan salat berjemaah di sekolah, peringatan hari besar Islam dan penggunaan pakaian yang sesuai syariat untuk hari-hari tertentu.
Sekuat apapun derasnya informasi yang diterima peserta didik di luar sekolah dan pengaruh lingkungan, pendidikan agama di sekolah formal, dengan beragam persoalan yang dihadapinya, masih memiliki nilai tawar (bargaining) yang tinggi dan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan kepribadian peserta didik. Tentunya jika guru agama dan kepala sekolah mampu untuk mengoptimalkan peran dan fungsi pendidikan agama dengan baik. Insya Allah.